Jumat, 15 Oktober 2010

RASIONALISME DAN KONSTRUKTIVISME: SAMA ATAU BEDA?



            Rasionalisme dan konstruktivisme merupakan paradigma dalam hubungan internasional, karena terdapat beberapa persinggungan antara keduanya, maka ada beberapa pakar yang menyamakannya. Untuk mengetahui apakah keduanya merupakan suatu hal yang berbeda, sama, saling berhubungan, atau memiliki hubungan linear, maka dibawah ini terdapat sejarah, definisi dan perkembangan diantara keduanya.
            Konstruktivisme mulai muncul sejak perang dingin, sebagai sebuah bentuk perlawanan intelektual atas neorealisme dan liberalisme, yang diperkenalkan oleh. Karl Deutch, Ernst Haas dan Hedley Bull. Di saat yang sama aliran konstruktivisme lainnya dengan tradisi fenomenologi mencoba mengangkat isu-isu kebijakan luar negeri dalam konteks konstruktivisme oleh Snyder, Bruck dan Sapin. Neorealisme dan  neoliberalisme di sini dianggap kurang memperhitungkan peran aktor dan faktor-faktor sosial  yang dikonstruksikan secara sosial dalam dunia politik. Asumsi dasar dari konstruktivisme lahir adalah manusia merupakan mahluk individual yang dikonstruksikan melalui realitas sosial, sehingga melahirkan paham intersubyektivitas. Hanya dalam proses interaksi sosial, manusia akan saling memahami. Dalam proses ini, faktor identitas individu sangat penting dalam menjelaskan kepentingannya. Hakekat manusia menurut konsepsi konstruktivisme lebih bersifat bebas dan terhormat karena dapat menolak atau menerima sistem internasional, membentuk kembali model relasi yang saling menguntungkan, atau yang diinginkan berdasarkan peraturan maupun strukturasi. Strukturasi menjelaskan konsep relasi sosial dan memposisikan setiap individu dalam konteks struktur pelaku : dimana suatu individu bisa menjadi personal, lembaga, negara maupun institusi (Wendt: 2001). Salah satu penjelasan yang mungkin dapat membedakan konstruktivisme dengan teori lain di Ilmu Hubungan Internasional adalah pandangan mengenai norma. Jika realis menganggap hal tersebut sebagai sebuah keterpaksaan, neoliberal menganggap sebagai sebuah pembangunan superstruktur dari dasar yang penting. Sedangkan konstruktivisme melihat norma sebagai sebuah pemikiran kolektif yang membuat prilaku di akui sebagai bagian dari aktor (Jeffrey T. Checkel, 1998:327). Jika neorealisme dan neoliberalisme berfokus pada faktor-faktor yang bersifat material (kasat mata) seperti power dan perdagangan maka konstruktivis berfokus pada ide.
Sedangkan rasional ialah suatu pemikiran yang masuk akal tetapi menggunakan aturan hukum alam. Dengan kata lain, menurut Kant, rasional ialah kebenaran akal yang diukur dengan hukum alam, yang intinya sesuatu yang rasional sesuai dan mengikuti hukum alam, maka yang tidak rasional  tidak mengikuti hukum alam dan kebenaran akal diukur dengan hukum alam. Dalam dinamika hubungan internasional selanjutnya, rasionalisme  hadir sebagai media penghubung dari liberalisme dan realisme, dimana rasionalisme menunjukkan keadaan dari tekanan anarki internasional akibat tidak adanya pemerintahan dunia, berbeda dengan keadaan negara yang menyediakan keamanan dan mengakui moralitas universal yang berkelanjutan untuk mengontrol egoisme kedaulatan negara tersebut ( Linklater: 1990), sehingga terjadi overlapping antara realisme dan liberalisme. Ini terlihat sejak 1980-an, realisme dan liberalisme mencapai satu titik kesamaan. “Essentially each looked at the same issue from different sides: that issue was the effect of international institutions on the behaviour of states in a situations of international anarchy (Smith: 1997).” Rasionalisme memang berangkat dari realisme yang sama-sama merupakan pemikiran klasik, yang menjelaskan tentang pengaruh   kontrol kekuatan dalam konteks anarki. Dimana kerjasama dan akomodasi menjadi sesuatu yang mungkin dan diatur dalam tatanan internasional, rasionalisme juga menekankan pada aturan internasional yang tidak bisa menjamin keadaan darurat akibat kekuatan yang agresif, kekuatan ini ditransformasikan ke arah masyarakat internasional yang adil dengan kekuasaan yang tidak berlebihan dan meniadakan anarki yang sudah ada. Namun, ada hal yang membedakannya dengan realisme, yaitu pemahaman tentang asumsi kebaikan dalam sifat manusia, yang menekankan pada prinsip kesejajaran dan kebebasan serta kebersamaan dari sebuah komunitas manusia,  telah meninggalkan  identitas  mereka diatas negara dan hubungan internasional (Linklater: 1990). Rasionalisme pun menghilangkan konsep sterility dari realisme dan konsep naivety serta exuberance dari teori idealisme. Rasionalisme berusaha untuk mencari pengertian bagaiman sebuah perbedaan antar negara itu dapat menjadi satu kesatuan dalam memandang sebuah prinsip dari aturan internasional yang adil.
Menurut Wendt, rasionalisme dan konstruktivisme dapat dibedakan dalam konteks metodologi, ontologi dan empirisme.
Tabel Perbandingan konstruktivisme dan rasionalisme

Perbedaan
Konstruktivisme
Rasionalisme
Metodologi
-    Mempertanyakan secara kritis dari mana datangnya identitas dan kepentingan tersebut
-    Identitas dan kepentingan bukan realitas melainkan bentukan struktur dan teori.
-    Menekankan pentingnya kekuatan Ide
-    Menjadikan kekuatan ide sangat berperan penting dalam kehidupan sosial dalam menentukan pilihan di antara perimbangan keberagaman sosial.
-    Institusi merupakan struktur sosial yang berfungsi untuk “sharing gagasan”

-    Mempertanyakan pengaruh lingkungan terhadap derajat perilaku aktor
-    Memperjuangkan identitas dan kepentinganya jika ada peluang
-    Kental dengan pendekatan Rational Choice dalam perilaku ekonomi borjuasi
-    Menekankan  pentingnya  kekuatan materi
-    Neorealist menyebut kepentingan negara berawal dari struktur materi yang anarkis.
-    Kekuatan ide direduksi untuk mengintervensi variabel antara kekuatan  materi dan hasil
-    Mengandalkan kekuatan materi dan kepentingan sendiri
Ontologi
-    Struktur dan intersubyektivitas
-    Tindakan memproduksi dan mereproduksi konsepsi identitas dalam ruang sosial dan waktu tertentu
-    Negara mentransformasikan kultur HI dalam konteks sistem keamanan kolektif (a collective security system)
-    Individual-centrism
-    Tindakan memproduksi dan mereproduksi konsepsi identitas individu semata.
-    Negara mentransformasikan kultur HI dalam konteks kekuatan yang berimbang (a balance of power)
Empirisme
-    Identitas dan kepentingan negara dikonstruksikan oleh sistem struktur
-    Kepentingan dan identitas negara selalu dikonstruksikan dalam sistem HI

-    Identitas dan kepentingan negara dikonstruksikan oleh kekuatan domestik.
-    Asumsi yang konstan atas gagasan empirisme dan alasan yang independen dalam sistem internasional
-     
Sumber : Wendt, Three Interpretation, dalam Social Theory of International Politics, hal. 33-37

Dari pemaparan di atas, terlihat bahwasanya kedua paradigma ini berbeda, tapi ada persamaan dalam menerapkan konsep dasar dari realis, yaitu anarki. Konstruktivisme bisa dibilang merupakan bentuk revisi dan melengkapi rasionalisme yang sempit, karena dibatasi oleh hukum alam, sehingga belum bisa disebut pemikiran tingkat tinggi. Dalam proses konstruktivisasi, bisa saja terdapat ide atau fenomena yang masuk akal dan logis meskipun bertentangan dengan hukum alam, aspek inilah yang tidak dapat dijelaskan oleh rasionalisme. Namun rasionalisme ini juga cukup bagus dalam menjelaskan aspek pemikiran tradisional yang sering tidak rasional serta berusaha mencari jalan keluar agar dalam keanarkisan tersebut masih terdapat sebuah ketentraman, kedamaian dan keadilan.
Referensi
Checkel, T, Jeffrey. 1998. The Constructivist Turn in International Relations Theory. World Politics 50.2 (1998) 324-348. Portland State University.
Wendt, Alexander, 2001, “Social Theory of International Politics”, Cambridge University Press, Cet. III.
Wendt, Three Interpretation, dalam Social Theory of International Politics, hal. 33-37

Linklater, Andrew. Rationalism. dalam Burchill, Scott, Linklater, A. et al. 2005. Theories of International Relations, Third Edition. New York : Palgrave Macmillan
Steve Smith, ‘New Approaches to International Theory’ di dalam John Baylis & Steve Smith (ed.), The Globalization of World Politics: Introduction to International Relations, New York: Oxford University Press, 1997.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar