Kamis, 07 Oktober 2010

IMPLEMENTASI TEORI STABILITAS HEGEMONI DI ERA KONTEMPORER


Abstract: The stability of the international system can be realized by  order which  regulate all elements- state, nation, market, individual and their interaction. The function of hegemon here is a single leader to keep implementation of order, to manage system in crisis condition, etc.  To be a hegemon, a state must have three attributes: the capability to enforce the rules of the system (economy, military, and politic), the will to do so, and a commitment to a system which is perceived as mutually beneficial to the major states. In the progress era and in complexity of state competition, International organization is needed to help hegemon from decline and as hegemon’s proxy all at once. Positive side of hegemon is regularity but in other side is domination tendency, because there are no rival. Will US Position now as incumbent hegemon be  shifted by New Industrial Countries like India, South Korea and China which have potency to be infant hegemon or even be replaced by International organization  itself which same role as hegemon? The Writer will explain and analyze more based on contemporary reality about this problem and give own opinion as conclusion of  this article.

Keyword: hegemonic stability theory, NIC’s, International organization, relation between order, regime, and system, functional theory.

            Dalam kehidupan modern, manusia tak pernah lepas dari aspek ekonomi dan politik, yang sebagian besar memperoleh kebutuhan hidupnya dengan alat transaksi berupa uang. Semakin kompleksnya interaksi dan tuntutan akan kebutuhan, menyebabkan perluasan ruang lingkup yang semula lokal-negara ke arah internasional-global. Kompleksitas tersebut membutuhkan tata aturan (order) untuk mewujudkan keteraturan pada stabilitas tatanan kehidupan, karena menurut pandangan realis sifat dasar manusia adalah egois sehingga rawan terjadinya konflik dan benturan kepentingan. Aturan (order) merupakan bagian dari perangkat penyusun rezim, selain prinsip, norma dan pengambilan keputusan, sedangkan rezim sendiri merupakan bagian kecil dari sistem yang ada (Krasner, 1983:2). 
Keberadaan aturan dan rezim bukan serta merta menjanjikan kestabilan dalam sistem dunia yang anarki ini, untuk itu dibutuhkan hegemoni suatu negara. Hegemon tersebut berfungsi untuk menjaga pelaksanaan, melakukan pengawasan serta pembuatan dari aturan, menjadi manajer atau penolong di saat status quo maupun krisis, mampu menyediakan  kepentingan umum yang sifatnya non- rival and non-excludent, dan mampu mengatasi free rider yang bermunculan (Keohane, 1984). Beratnya tugas tersebut memunculkan beberapa prasyarat yang harus dipenuhi oleh sebuah negara hegemon yang sekaligus bertindak sebagai stabilitator, diantaranya adalah memiliki kapabilitas militer, ekonomi dan politik yang tangguh, adanya komitmen untuk mengemban tugas tersebut dan yang terakhir adalah keterbukaan sistem yang memberi kompensasi saling menguntungkan di antara negara-negara yang terlibat dalam sistem.
Dalam teori stabilitas hegemoni, baik menurut Kindleberger maupun Keohane (Keohane, 1984) hegemon harus berjumlah tunggal, karena bila ada saingan yang seimbang maka akan lebih sesuai bila dibahas dalam kajian teori perimbangan kekuatan (balance of power). Lantas bagaimana dengan kemunculan negara-negara industri baru seperti India, Cina dan Korea Selatan, apakah mereka berpotensi sebagai pengganti hegemoni Amerika Serikat (AS) yang saat ini sedang “sakit” akibat krisis ataukah sebagai penyeimbang  atas unilateralisme AS atau bahkan peran tersebut tergeser oleh organisasi internasional yang mampu menggantikan fungsi dari hegemon?
Ada beberapa konsep yang digunakan penulis untuk menjelaskan fenomena tersebut. Pertama, tinjauan sejarah dari negara yang sedang atau pernah menjadi hegemon. Kedua, teori fungsi yang dapat menjelaskan dikotomi peran rezim dalam organisasi internasional dan hegemon dalam kerjasama internasional. Ketiga, strategi dan politik negara industri baru.

Inisiasi Hegemon dari Waktu ke Waktu
            Sebelum perjanjian Wespalia yang mengatur tentang negara-bangsa dan kedaulatannya, kerajaan Yunani dan Romawilah yang berkuasa saat itu. Kemudian pada abad XIX, Inggris yang mayoritas wilayahnya berupa lautan akhirnya menerapkan strategi pertahanan maritim untuk menyebarluaskan pengaruh, wilayah dan kekuasaannya (Asprey, 2000). Untuk melanggengkan hegemoni yang sudah diraihnya, Inggris menjadikan mata uang dan bahasanya sebagai acuan di lingkup internasional, yang dimulai dari daerah yang menjadi koloninya (Das, 2002). Inggris bersedia menjadi negara jangkar penjamin stabilitas perekonomian dunia melalui mata uangnya yaitu poundsterling serta menjadi meredam krisis pada tahun 1825,1836,1847,1866 dan 1907 dengan menjamin laju bantuan keuangan pada negara-negara di Eropa yang terkena imbas krisis (stabilitator).
            Power yang dimiliki Inggris semakin meningkat dari waktu ke waktu, hal ini tak lepas dari luasnya wilayah yang ditaklukkan Inggris, berkat militernya yang tangguh dan tak tertandingi sebelum maupun selama perang dunia berlangsung. Namun dengan munculnya negara lain yang mulai membangun kekuatan seperti Jerman dan Amerika Serikat serta negara yang telah menjadi rival lama Inggris yaitu Perancis, lama kelamaan posisi Inggris sebagai hegemon mulai turun dan puncak kehancuran hegemoni Inggris ini terjadi pada masa Perang Dunia (PD) II dimana terjadi dekolonisasi di hampir seluruh negara koloni Inggris. Kemerdekaan negara-negara dunia ketiga tersebut menyebabkan posisi Inggris menurun drastis dan digantikan oleh hegemon baru yang berkembang pesat saat itu yaitu Amerika Serikat.
Kegagalan Inggris dalam mempertahankan geostrategi ekspansi dan kolonialisme pada akhir abad XIX dan runtuhnya posisi hegemon bukanlah sesuatu yang diluar dugaan.  Ancaman bagi hegemoni Inggris datang tidak hanya dari luar namun juga adanya penentangan dari negara koloni seperti India yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi. Menurut Joseph S. Nye, kegagalan ini bukanlah karena Inggris kurang kuat atau memiliki strategi militer yang lemah namun karena Inggris gagal dalam mengkombinasikan hard power dan soft power dalam geostrateginya menguasai wilayah lain- terlalu fokus pada perang sehingga perannya sebagai stabilitator mengalami disfungsi (http://www.kompas.com).
Sebenarnya AS telah memiliki kapabilitas untuk menjadi hegemon sejak paska PD I, tapi sayangnya AS enggan menerima komitmen tersebut. Baru setelah paska PD II, AS menerimanya karena saat itu Inggris sebagai hegemon mulai kelelahan dan Jepang yang berpotensi untuk menjadi hegemon hancur akibat dibom oleh AS saat PD II (Sorensen, 1999). Tidak berbeda jauh dengan Inggris, Amerika juga memperluas pengaruhnya melalui mata uangnya yaitu dolar, penyebaran budaya pop barat- melalui industri perfilman Hollywood, gaya hidup, bahasa, ilmu pengetahuan- dan satu hal yang membedakannya yaitu penerapan paradigma neoliberal sebagai sebuah struktur ekonomi dan politik yang mendunia. Beberapa postulatnya adalah globalisasi, perdagangan bebas, dan pendirian institusi/organisasi internasional. Sehingga wajar bila banyak kebijakan dari rezim internasional dari sebuah organisasi yang ditunggangi kepentingan AS dan sekutunya sehingga negara berkembang menjadi pihak yang paling menderita dalam sistem tersebut (Miller, 2006). Semua negara berusaha memaklumi ketika AS sebagai pemenang PD II menentukan institusi dan peraturan baru yang mendasari perekonomian dunia dengan dalih atas nama liberalisme.

Penjelasan Teori Fungsi Terkait Implementasi Teori Stabilitas Hegemoni
            Dalam teori stabilitas hegemoni ini menurut penulis berlaku hubungan sebagai berikut, hegemoni sebagai variabel independen/bebas dan rezim sebagai variabel dependen/terikat. Dengan asumsi hegemon adalah pembentuk rezim sehingga pengimplementasiannya tak lepas dari kepentingan hegemon tersebut. Jadi bila kekuasaan hegemon runtuh, maka runtuhlah kerjasama yang terjalin diantara negara-negara dalam sistem tersebut karena tidak ada yang mengatur (imposed order) (Sorensen, 1999). Hal ini dikritisi oleh Keohane, bahwasanya kekuatan hegemoni membantu membentuk kerjasama internasional dalam bidang tertentu seperti seperti keuangan, perdagangan dan minyak. Ketika kekuasaan AS menurun, kerjasama tidak pecah seperti yang dibayangkan teori stabilitas hegemoni sehingga kesimpulannya kekuatan hegemoni mungkin penting bagi awal pembentukan kerjasama, tetapi ketika institusi internasional yang diperlukan dibentuk untuk menegakkan rezim, mereka memiliki kekuatan yang tetap ada dan mampu meningkatkan kerjasama yang lebih baik dalam lingkungan penurunan hegemoni sekalipun (Keohane, 2005). Kritikan dari Keohane tersebut dapat dijelaskan melalui teori fungsi yang di dalamnya berlaku hubungan sebab akibat yang dipengaruhi aspek rasionalitas yang berlangsung dua arah. Sederhananya, rezim dan institusi ada karena fungsi-fungsi yang diharapkan dapat diperoleh yaitu untuk membantu hegemon dan menjadi perpanjangan tangan bahkan saat peran hegemon itu menurun. Namun, sejatinya peran dari rezim tersebut adalah sebagai stabilitator yang dicetuskan oleh kaum liberal, yaitu mempertahankan fungsi agar berjalan normal dan terkontrol untuk mewujudkan sistem yang harmoni dengan aktor yang berjumlah plural/jamak.  
Dari penjelasan di atas jelas sekali, bahwa keberadaan hegemon dalam bentuk negara dominan tunggal tetap penting dan tidak dapat digantikan oleh rezim atau organisasi internasional yang kuat sekalipun, sehingga tidak berpotensi menimbulkan ancaman. Kritikan lain juga muncul akibat persepsi bahwa negara berkembang hanya menjadi free rider dalam pemenuhan barang  publik, untuk itu mereka menuntut perubahan order yang ada karena ingin diperhitungkan dalam sistem yang dipimpin oleh hegemon (Sorensen, 1999). Tuntutan tersebut semestinya diakomodir oleh hegemon agar tercipta keteraturan seperti yang diharapkan. Keteraturan dan kestabilan yang tercipta ini sebenarnya merupakan sebuah hasil temporer dari hegemon, karena agenda utama dari hegemon sebenarnya adalah dominasi/power (aspek politik) daripada penciptaan keteraturan (dalam aspek perekonomian) itu sendiri (Keohane, 2005). Hal ini dapat diamati dari tindakan pelanggaran Bretton Wood System oleh Amerika di saat jumlah cadangan emasnya menipis akibat membiayai Perang Vietnam, yang saat itu bersamaan dengan terjadinya krisis minyak. Padahal penetapan exchange fixed rate adalah gagasan dari Amerika Serikat sendiri untuk mengkonversikan emas dalam dolar, tapi karena saat itu merugikan maka AS lebih memilih untuk melanggarnya. Hal ini mempengaruhi kepercayaan publik pada hegemon dan menimbulkan protes dari negara-negara lain (Jerman dan Perancis) atas tindakan unilateralisme AS (predator hegemon), contoh lain adalah tindakan proteksi pertanian dalam negeri AS, padahal dalam paradigma liberal dianut sistem mekanisme pasar yang bebas dari intervensi negara dan membebaskan persaingan yang terjadi (Sorensen, 1999) dan gagalnya pembentukan ITO akibat tidak diratifikasi AS dengan alasan senat ingin melindungi perekonomian dalam negerinya. Dari sini bisa dilihat bahwa pragmatisme kepentingan pribadi AS lebih diutamakan mengingat dominasi tunggal yang dimilikinya (Plano,1982).    
Selain bertindak sebagai hegemon predator, AS juga pernah bertindak sebagai hegemon yang ramah dan stabilitator, yaitu pada saat membantu Eropa Barat dan Jepang dengan rencana Marshallnya, yaitu membantu pembangunan kembali dua negara tersebut pasca PD II, Jepang juga diperbolehkan mempertahankan akses pasar terbatasnya pada pasar domestik, sedangkan Eropa Barat diperbolehkan melanjutkan subsidi dan proteksionismenya dalam pertanian, tapi yang perlu digaris bawahi adalah kebaikannya ini hanya berlaku pada negara sekutunya yang dianggap potensial memberi keuntungan balik pada AS, yaitu mencegah pengaruh komunis di kedua negara ini.

Strategi dan Politik Negara Industri Baru
            Dewan Intelijen Nasional AS (NIC) belum lama ini merilis hasil risetnya tentang kepemimpinan global AS (www.republika.com). Mereka menyatakan dominasi dan hegemoni kekuatan ekonomi, politik, dan militer AS akan merosot tajam pada 2025. Pada sisi lain, dunia akan melihat kekuatan baru: Cina, Rusia, dan India. Jelas, hasil penelitian ini tidaklah mengejutkan. Lahirnya negara-negara industri baru yang selama era 1944-1970-an dibesarkan AS melalui Marshall Plan dan Bretton Woods juga berpengaruh terhadap keruntuhan hegemoni global AS. Jerman dan Jepang menjadi faktor penting yang memunculkan pandangan tentang runtuhnya kekuasaan AS di percaturan internasional, begitu pula dengan Korea Selatan.
            Prediksi tersebut dilandasi oleh peningkatan kapabilitas persenjataan dan nuklir di negara-negara tersebut, begitu pula dengan perekonomiannya. Bahkan kebangkitan Cina dan India  juga terletak pada nilai-nilai kebudayaannya yang meliputi bidang seni dan hiburan, kerajinan tangan, nilai-nilai filosofi kehidupan seperti swadesi dan konfusianisme, serta bebagai keunggulan lunak (soft advantages) lainnya. Ketika Amerika masih terus bergantung pada brain-power yang diimpor dari negara-negara Asia dan Eropa, Cina dan India justru setiap saat dapat memanggil para ahli mereka yang tersebar di seluruh dunia untuk datang kembali ke negaranya, mengingat iklim usaha di negara mereka telah berubah dan terus berkembang pesat dari tahun ke tahun. Fenomena tersebut sekarang dikenal dengan istilah brain gain atau reserved brain drain (Faiz,2007).
Penurunan hegemoni AS saat ini adalah karena perubahan cara pandang dari defensif ke arah ofensif realis, yaitu great powers akan selalu mencari kesempatan untuk mendapatkan power yang lebih dari rival-rivalnya, dengan hegemoni sebagai tujuan utamanya. Inilah klaim yang dibuat oleh John Mearsheimer dalam bukunya The Theory of Great Power Politics. Asumsinya negara yang menjadi great powers harus memiliki kapabilitas untuk memproyeksikan power diluar wilayahnya. Dengan kata lain, mereka butuh untuk membangun sebuah kekuatan militer yang hebat, hal inilah yang memunculkan miskalkulasi perekonomian AS dan menjadi pemicu penurunan hegemoninya serta membawanya dalam keadaan krisis yang terus berulang, selain faktor kegagalan pasar itu sendiri tentunya.
Momen ini tidak dijadikan peluang oleh negara industri baru dan Rusia untuk menjadi hegemon pengganti AS, berdasarkan data terakhir yaitu pada bulan Februari 2007, Menteri Luar Negeri dari Rusia, Cina, dan India bertemu di New Delhi untuk melakukan aliansi kerjasama untuk mempromosikan perdamaian internasional, kemakmuran, dan persamaan negara-negara dunia. Tidak ada satu negara pun yang dapat mendominasi Asia ataupun benua lainnya, keseimbangan tata dunia harus dibangun dengan menciptakan iklim kerjasama yang sehat, terutama dengan menghindari terjadinya konfrontasi dalam hubungan antarnegara (Nalapat, 2007).
            Dari data tersebut, sangat jelas terlihat mereka lebih memilih menjadi penyeimbang dalam era posmodern sekarang ini karena persoalan hegemoni kekuasaan internasional yang terjadi pada dunia posmodern tidak lagi dilakukan oleh suatu negara tertentu namun didasarkan pada kolektivitas negara melalui organisasi/rezim internasional.

Kesimpulan
            Dari pemaparan mengenai hegemon dimasa lalu maupun saat ini, penulis menganggap bila teori stabilitas hegemoni masih relevan untuk digunakan untuk menjelaskan tentang kedudukan AS dalam hirarki tertinggi di dunia, walaupun ada beberapa kekurangan karena ketidakmampuannya menjelaskan peran rezim dan organisasi internasional yang layak diperhitungkan dan sifat anomali AS yang tidak dapat diprediksi. Untuk beberapa dekade ke depan AS kemungkinan besar masih tetap unggul sebagai hegemon meskipun kebijakannya mayoritas bersifat unilateral yang berorientasi dominasi daripada pencapaian keteraturan, karena belum adanya komitmen dari negara yang berpotensi untuk mengambil alih posisi tersebut. Apalagi dengan pergantian Kepala Negara AS dari Bush Jr. ke Obama, ternyata menimbulkan optimisme dari beberapa kalangan, bila AS menjanjikan perubahan ke arah hegemon yang ramah dan mampu bangkit dari krisisnya saat ini, yang diharapkan keberhasilannya mampu menyebar dan menstimulasi perekonomian internasional untuk ikut bangkit (trickle down effect).
Peran serta berbagai negara yang tergabung dalam NIC’s dalam politik internasional dapat menjadi check and balance dari AS agar kembali pada komitmen awalnya sebagai kekuatan dominan, yaitu menciptakan perekonomian yang terbuka untuk semua negara yang berpartisipasi, tidak lagi mementingkan egoisme kepentingan pribadinya. Namun, bila tindakan ofensif AS seperti pengeboman Irak dan Afganistan yang lebih ke arah pamer power dengan dalih penegakan demokrasi dan HAM, yang akhirnya sampai sekarang tidak mampu membuktikan keberadaan senjata pemusnah massal, maka penulis tidak bisa menjamin bila negara penyeimbang justru menjadi negara penyerang sebagai bentuk dari pertahanan keamanan nasional mereka. Dengan asumsi tiap aktor berpikir rasional atas dilema keamanan yang terjadi.
Semestinya AS lebih banyak belajar dari pemikiran Gramsci bahwasanya hegemoni dapat diamati dalam dimensi  intelektual, moral, dan politik, lebih dari sekedar ideologi dan legitimasi atas kekerasan tindak militer untuk menyebarluaskan pengaruh.




REFERENSI
Asprey, Robert .2000,  The Rise of Napoleon Bonaparte . New York: Basic Books
Das, Gurcharan. India Unbound: From Independence to the Global Information Age in Penguin Books India. 2002. New Delhi.
Faiz, Pan Mohamad. Brain Drain dan Sumber Daya Manusia Indonesia: Studi Analisa terhadap Reversed Brain Drain di India, disampaikan pada International Conference for Indonesian Students di Sydney, Australia, September 2007.
Http://www.republika.com diakses 14 Juni 2009
Jackson, Robert J. and George Sorensen. 1999. Introduction to International Relations. New York.  Oxford University. Pp228
Keohane, R., 1982. The Demand for International Regimes.. International Organization, pp.141-171
 Keohane, Robert O. 1984. The Incomplete Decline of Hegemonic Regimes dalam After Hegemony Coopertion and Discord In The World Political Economy. New Jersey: Princenton University Press pp. 195-216
Keohane, Robert O. 2005. The Demand for International Regimes. in After Hegemony: Cooperation and Discord in The World Political Economy. New Jersey
Keohane, Robert O. 2005. Rational Choice and Functional Explanation. in After Hegemony – Cooperation and Discord in the World Political Economy,New Jersey
Krasner, Stephen D. (ed.).1983. International Regimes. Ithaca. New York: Cornell University Press. pp 2
 Miller, Lyn H.. 2006. penerjemah Daryatno. Agenda Politik Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nalapat, Madhav D. Partnership for Peace, Prosperity, and Parity. dalam China Daily, 14 Februari 2007, hal. 11.
Plano, Jack C. 1982. The International Relation Dictionary. England: Clio press Ltd
R.Young,Oran. Regimes Dynamics : The Rise and Fall of International Regimes dalam Krasner, Stephen(ed). 1983. International Regimes. Cornell University Press: Ithaca and London

Tidak ada komentar:

Posting Komentar