Sabtu, 02 Oktober 2010

REGIONALISME BARU AFRIKA DI ERA MILENIUM


Afrika, si benua hitam, adalah sebuah kawasan unik nan eksentrik yang memiliki karakteristik yang benar-benar berbeda dengan kawasan lain, baik dari segi budaya, sosial kemasyarakatan, maupun sistem pemerintahannya. Selama ini, kawasan Afrika selalu diidentikkan dengan masalah kemiskinan dan keterbelakangan peradaban, padahal hal itu tak sepenuhnya benar. Memang bila ditilik dari segi sejarahnya, kondisi Afrika yang pada dasarnya heterogen, menjadi salah satu pemicu timbulnya konflik, ditambah lagi pengaruh kolonialisme Eropa yang mengeksploitasi sumber daya alam di sana, ketidakstabilan ini terus berlanjut dan semakin parah paska-kolonialisme, seperti yang dikatakan Ankie H. bahwasanya  Afrika adalah benua yang paling marginal dan terbelakang, serta paling sedikit terpengaruh oleh instabilitas kontemporer dan permalasalahan finansial dunia. Namun permasalahan ketidakstabilan itu tidak sebatas konflik internal Afrika tapi juga sedikit banyak merupakan sumbangan dari globalisasi, karena bukannya membawa Afrika pada masa pencerahan peradaban tapi justru memperkompleks permasalahan yang sudah ada, terutama di bidang perekonomian.

Penjajahan yang dilakukan Eropa menjadikan Afrika sebagai obyek dari modernisasi, sehingga ketika Eropa meninggalkan Afrika yang selama ini sudah mengalami ketergantungan pada sistem yang diberlakukan Eropa justru malah menjadi kehilangan kendali dan semakin terpuruk. Memang sempat muncul semangat nasionalisme di Afrika tatkala menghadapi musuh bersama dari luar, seperti halnya rakyat Kongo yang bersatu melawan Perancis, namun karena pada dasarnya hubungan antar bangsa masih belum kuat, hal ini malah memunculkan primorddialisme dan etnosentrisme yang menjurus pada konflik laten.

Ketidakstabilan yang hadir sampai sekarang di Afrika, bila ditelaah lebih jauh menunjukkan kegagalan dari mayoritas negara-negara di kawasan tersebut, baik karena dilema keamanan antara aparat pemerintah dan pemberontak, dekolonisasi, sistem pemerintahan yang otoriter, kecuali Mesir, dan ketidakmampuam pemerintah untuk melakukan perkembangan yang mengarah pada kemajuan. Trauma mendalam akibat kolonialisme, menyebabkan rakyat dan pemerintah Afrika menjadi antipati pada pasar Eropa dan liberalisme, memang globalisasi tak selalu membawa pengaruh positif dan saya rasa juga Afrika sampai saat ini belum siap bila terlibat dalam pasar global tapi bagaimanapun menutup diri dalam interaksi internasional justru malah menyebabkan keterbelakangan, karena bagaimanapun juga sebuah negara membutuhkan negara lain untuk mencukupi kebutuhannya untuk meraih kepentingan nasional, bahkan negara yang hegemoni sekalipun.

Pemerintah Afrika malah merencanakan pembangunan secara otodidak dengan tidak didasari pembelajaran yang matang. Hal ini gagal karena tidak ada kontrol terhadap pemilik otoritas yang justru justru menimbulkan fenomena korupsi, disparitas ekonomi, kebangkrutan, dan pengangguran. Jadi wajar kiranya bila pendapatan Afrika sampai sekarang mayoritas dibawah $785 (Bach, 2005).

Kemunculan regionalisme baru di Afrika memunculkan hubungan trilateral-yang menurut istilah saya hubungan segitiga antara negara, pengusaha dan rakyat, yang ketiganya berjuang bukan dalam taraf kerjasama yang saling menguntungkan tetapi justru mengutamakan kepentingan pribadi masing-masing. Kerumitan hubungan ini memunculkan koridor, ekologi yang melibatkan kelompok intrapemerintah seperti Common Market of Eastern and Southern Africa (COMESA), the Economic Community of West African States (ECOWAS) dan the African Economic Community (AEC) juga tidak membantu pemulihan Afrika (Shaw, 2000 pg. 402). Permasalahan koridor merupakan suatu bentuk solid sekelompok akses yang memiliki legitimasi dan kewenangan dalam skala tertentu yang tidak menerima intervensi pihak luar.

Regionalisme baru ternyata tak lebih dari sebuah wacana, masalah penggabungan kawasan di Afrika dipersulit oleh politik Apartheid dan propaganda lain yang berbau SARA, sehingga seringkali memunculkan kudeta. Dasar penggabungan yang belum kuat, hanya sebatas persamaan dialek ataupun kesamaan geografi tapi bila tidak disertai kesamaan visi dan misi penyatuan maka hanya menjadi omong kosong, inilah realita yang terjadi di Afrika.

Sebuah pemikiran revolusioner mengenai regionalisme baru muncul dari perspektif realisme yang dinamakan real politic and economy, untuk mencarikan solusi atas masalah yang terjadi di Afrika, dimana regionalisme baru dipandang sebagai sesuatu yang menyeluruh dalam artian anarki, yang menjadi ciri khas penyelesaian masalah beragamnya SARA dan dilemma keamanan yang terjadi.

 Pemikiran real politic and economy ini tetap menjadikan negara sebagai aktor yang berkonflik dan terkait memiliki peranan dan hubungan intrapemerintah yang strategis dan tidak menentu. Uniknya negara di Afrika berciri-ciri sama yaitu lemah dalam mempertahankan teritori dan legitimasinya. Perpektif regionalis baru membawa studi kajian ke dalam debat lebih lanjut yang mendasarkan asumsi pada hubungan segitiga aktor yang ada dan keseimbangan yang terjadi paska-kolonialisme, sejak era kemerdekaan dan sistem bipolar. Dominasi struktur trilateral juga termasuk keterlibatan organisasi humanitarian sehubungan dengan AIDS, anak dan HAM. Pendekatan neorealis menyebutkan upaya peacebuilding, peacemaking and peacekeeping harus melibatkan aktor non-negara, menyatukan kepentingan, dan isu-isu non-tradisional (di luar keamanan).

            Regionalisme baru di Afrika juga menimbulkan tantangan-tantangan untuk dihadapi. Pertama, studi pembangunan dan implementasi kebijakan perlu dilaksanakan secara lebih fleksibel dan berkesinambungan terutama di bidang kemanusiaan dan keamanan. Kedua, pandangan regionalisme baru bahwa transisi dari rezim otoriter di Afrika membutuhkan kerjasama dalam bentuk baru yang belum pernah ada sebelumnya, karena varietas permasalahan di Afrika yang sedemikian kompleksnya. Dan terakhir, konflik di Afrika perlu dipahami sebagai konflik yang unik karena keragamannya dan dibutuhkan pembelajaran khusus mengenainya. Sebaiknya Afrika belajar dari semboyan negara Indonesia, yaitu bhineka tunggal ika agar lebih menghargai perbedaan yang ada dan tidak mengahambat persatuan baik dalam negara maupun dalam suatu kawasan.

            Kehancuran di Afrika dapat dihentikan mulai saat ini dengan pembangunan berfondasi demokrasi, sosialisme (kebersamaan), dan non-feodalisme. Bagaimanapun juga penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, seperti yang termaktub dalam undang-undang negara Indonesia, bahwa setiap negara berhak meraih kemerdekaannya dalam upaya peraihan kedaulatan. Afrika tidak seharusnya tunduk pada arus modernisasi, hal ini juga harus diupayakan untuk memutus eksploitasi Afrika oleh dunia luar serta perlunya usaha bersama dari luar dan dalam yang inheren juga krusial untuk penanggulangan berbagai konflik di Afrika. Tidak hanya sebatas penyatuan kawasan seperti Uni Afrika dan lembaga penyelesaian konflik, untuk menanganinya tapi juga kemampuan lebih dalam menerapkan ilmu hubungan internasional kawasan dan geopolitik untuk menyiapkan geostrategi dalam meraih African dream.

Pada akhirnya, regionalimse di Afrika masih menjadi sebuah tantangan untuk diwujudkan ketika konflik masih menjadi momok yang belum bisa terselesaikan lewat mekanisme institusi regional. Apalagi mewujudkan globalisasi, yang bila didefinisikan menjadi sebuah konsep yang menyatukan masyarakat dunia menjadi tergabung sebagai sebuah masyarakat tunggal dunia, yaitu global society.

REFERENSI
Bach, Daniel. ‘The Global Politics of Regionalism: Africa’, in Farrell, M.,
Hettne, B. & Langenhove, L. V. (eds), The Global Politics of
Regionalism, London, Pluto Press, 2005, pp. 171-186
Shaw, Timothy, M., ‘New Regionalism in Africa in the New Millennium:
Comparative Perpectives on Renaissance, Realism and/or
Regressions’, in New Political Economy, Vol. 5 No.3, 2000, pp. 399-
475





Tidak ada komentar:

Posting Komentar