Jumat, 15 Oktober 2010

HUBUNGAN LINGKUNGAN DAN MANUSIA: PARASIT ATAU MUTUAL




            Greenpeace, krisis iklim global, suplai makanan, UNFCCC adalah kata-kata yang pertama kali tersirat pada saat tema lingkungan dibahas dalam jurnal kali ini. Penulis dihadapkan pada dilema dimana manusia sebagai pemimpin dibumi yang memang dianugerahkan alam untuk mengelolanya sekaligus melestarikannya namun senyatanya justru menjadi “parasit” yang tidak tahu terima kasih. Suatu studi kasus nyata yang bisa diamati adalah populasi global yang meningkat pesat paska Perang Dingin, namun tidak bisa diimbangi oleh potensi pertumbuhan dari lingkungan hidup sendiri, belum lagi bila manusia melakukan pengrusakan dan eksploitasi berlebihan pada alam. Fenomena inilah yang akhirnya menggulirkan paham enviromentalisme dalam lingkup hubungan internasional sebagai wujud kepedulian dan pencarian solusi serta upaya untuk meminimalisir kerusakan lingkungan.  
Kaum enviromentalis sendiri terpecah menjadi dua kubu yaitu modernis dan radikal. [1] Bila modernis, berpikir bahwa perbaikan terus-menerus dalam pengetahuan ilmiah dan dalam persaingan teknologi akan meningkatkan keahlian dalam menguasai lingkungan, jadi IPTEK yang ada dibuat berwawasan ramah lingkungan, contoh pengurangan gas CFC. Sedangkan ekoradikal berpikir bahwa manusia di muka bumi terancam bergerak mendekati batas daya tampung planet dan tidak ada perbaikan teknologis apapun yang dapat mengatasi permasalahan tersebut selain teori politik hijau ekosentris yang menyeluruh sehingga mampu mejadi sebuah kerangka komperehensif yang mengarah pada resolusi krisis ekologis. Dari dua pilihan di atas, penulis mengambil posisi sebagai penganut ekoradikal dimana kedudukan alam dan manusia adalah seimbang, manusia bisa hidup sampai sekarang itu karena pemanfaatan atas alam yang menjadi haknya dan eksistensi alam sampai sekarang ada juga karena manusia menjalankan kewajibannya pada lingkungan sehingga keduanya adalah bagian dari satu ekosistem tunggal yang tak terpisahkan. Berbeda lagi dengan pemikiran antroposentris yang dominan dalam pemikiran barat, mereka berpikir bahwa manusia di atas alam sehingga manusia dibebaskan untuk mengeksploitasi alam untuk mengejar nasib dan kepentingan manusia.
Enviromentalisme berbeda dengan teori kritis lainnya yang jarang memberikan solusi, di sini ekoradikal berkontribusi dalam menyampaikan pemikirannya tentang perubahan dramatis menyangkut gaya hidup, organisasi politik dan ekonomi manusia, seperti menghentikan produksi massal industri dan mengalihkannya pada konsep back to nature. Jadi kajian mainstream selama ini yang berpusat pada negara ditengarai sebagai sumber masalah daripada penyelesai masalah karena negara adalah bagian dari masyarakat modern yang selama ini sebagai penyumbang besar terjadinya krisis.[2] Walaupun ekoradikal tidak menyatakan apa pengganti yang tepat dari negara tapi saya sendiri lebih menyarankan pengisian fungsi tersebut oleh rezim internasional atau NGO serta konsumen. Buktinya adalah langkah greenpeace yang memiliki jaringan di tingkat global bergerak lebih cepat dalam  kasus kabut asap akibat kebakaran hutan di Indonesia yang imbasnya sampai ke negara-negara di kawasan Asia Tenggara, daripada reaksi pemerintah Indonesia yang terkesan lamban dalam menangani, bahkan hasil konferensi UNFCCC sampai sekarang pun tidak berjalan akibat tidak ditandatangani Amerika Serikat; kemudian keberhasilan rezim ozon untuk memotong dan menghentikan produksi CFC beberapa dekade belakangan ini. Dalam kajian hubungan internasional, enviromentalisme memberi warna baru dari sudut pandang ekosistem global yang terancam bahaya akibat arogansi manusia yang lebih mengutamakan modernitas dan kekayaan material tingkat tinggi, untuk alasan ini pulalah penulis tidak setuju dengan ekomodernis yang cenderung mengarah pada asumsi tersebut.

Keamanan Manusia dan Lingkungan
            Berkaitan dengan subjudul di atas, logikanya bila keamanan lingkungan terabaikan maka keamanan manusia juga akan terancam. Penjelasan sederhananya adalah bila terjadi krisis iklim akibat rumah kaca dan penipisan ozon maka akan menimbulkan penyakit pada manusia, kemudian masalah pengembangn nuklir yang limbahnya mengandung radioaktif juga dapat mencemari lingkungan dan mempengaruhi kesehatan serta otak manusia bila terhirup, penyediaan suplai makanan yang terbatas akan mengakibatkan bencana kelaparan seperti di Ethiopia, berbagai serangan nuklir Israel di kawasan Palestina akan mengancam ribuan nyawa manusia di kedua negara, dari berbagai gambaran di atas maka bisa disimpulkan bahwa sinergi keduanya harus berjalan mutualisme demi kebutuhan manusia sendiri untuk ke depannya. Jadi aspek ancaman keamanan manusia tidak terbatas seputar masalah perang, senjata, konflik atau isu tradisional lainnya. Ada sedikit pandangan yang berbeda dari Thomas Homer-Dixon mengenai krisis lingkungan yang bersifat intra negara daripada antar negara, contohnya kelangkaan lingkungan hidup dapat menyebabkan migrasi penduduk kota dan kerusuhan, menurunnya produktivitas ekonomi dan konflik etnis yang berujung pada melemahnya pemerintahan. Bila diperhatikan memang hal itu ada benarnya, sumber permasalahan itu muncul dari per negara tapi imbas dan cara menyelesaikannya justru lebih efektif bila dilakukan bersama di tingkat global, melalui organisasi biar tidak terhambat masalah birokrasi negara yang ruwet di kalangan elit, dukungan dari para relawan yang merupakan aktor individu dan  peran serta pengelola media yang kesemuanya tak lain dari manusia dengan strata dan fungsi berbeda  namun dengan kesatuan pemikiran akan kepedulian pada lingkungan.

Telaah Mengenai Politik Hijau
            Disadari atau tidak trik dan intrik politik memasuki semua aspek kehidupan tak terkecuali lingkungan dan keamanan, walaupun dalam tingkatan rendah (low politic). Ancaman terhadap lingkungan hidup dapat secara serius mempengaruhi keamanan nasional dan internasional, seperti konflik sumber air di Timur Tengah yang semestinya dimiliki bersama oleh Syuriah, Israel, Yordania dan Lebanon namun karena Liga Arab berusaha mengambil alih akhirnya timbullah perang Arab-Israel, yang dari dulu sudah memiliki sentimen keagamaan.[3]Jadi, bila dipolitisir maka kerusakan lingkungan hidup dapat menimbulkan konflik yang lebih luas seperti perang, terorisme, maupun persengketaan diplomatik dan perdagangan yang bisa saja menjalar pada berubahnya tatanan dunia.[4]
            Dalam politik hijau meskipun tidak menjadikan peran negara dominan, namun negara tetap ada dengan harapan dapat melakukan reformasi atas struktur yang ada serta lebih eksis dan responsif terhadap keputusan politik di tingkat lokal, regional, dan internasional serta berorientasi horizontal dengan pemangku kepentingan (swasta), sehingga pengaplikasian dari keputusan bisa optimal. Selain itu perlu juga perluasan kontrol negara pada aktivitas pasar dan budaya masyarakat agar tetap berwawasan lingkungan.   
Referensi
CARTER, A. 1993. Towards a Green Political Theory. dalam A. Dobson and P.Lucardie (eds). The Politics of Nature: Explorations in Green Political Theory. London: Routledge.
Gleick P.H.. 1993. Water and conflict: Fresh Water Resources and International Security. International Security, 18/1: 79-112.
Jackson, Robert and Georg Sorensen. 1999.Introduction to International Relations. New York: Oxford University press Inc
Perwita, Banyu dan Yanyan. M.Y. 2006. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja rosda Karya. Hal 130


[1] Robert Jackson and Georg Sorensen. 1999.Introduction to International Relations. New York: Oxford University press Inc.
[2] A. CARTER. 1993. Towards a Green Political Theory. dalam A. Dobson and P.Lucardie (eds). The Politics of Nature: Explorations in Green Political Theory. London: Routledge.
[3] P.H. Gleick. 1993. Water and conflict: Fresh Water Resources and International Security. International Security, 18/1: 79-112.
[4] Banyu Perwita dan Yanyan. M.Y. 2006. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja rosda Karya. Hal 130

Tidak ada komentar:

Posting Komentar