Kamis, 07 Oktober 2010

GEOSTRATEGI DAN GEOPOLITIK UNTUK MENGATASI KONFLIK MINYAK DAN PERANG



Geostrategi baru merupakan pembaharuan dari dogma klasik di era Napoleon, dengan obyek musuh berupa angkatan bersenjata menjadi perlengkapan, persiapan dan penggunaan angkatan bersenjata untuk mengakhiri perang. Menurut pemikir geopolitik Jerman, geostrategi modern mengabaikan strategi yang tidak mungkin dan menjadikan eksploitasi militer sebagai realitas fase kehidupan manusia yang menjadikan dunia sebagai bentukan manusia. Langkah pertama dalam menerapkan geostrategi ini adalah memperkirakan secara seksama dari setiap negara secara terpisah dari sudut pandang politik yang melibatkan studi dari struktur pertahanan diri dari kekuatan militer ke masalah populasi masyarakat dan kondisi perbatasan. Menurut Haushofer, kepemimpinan dalam polarisasi atas energi nasional untuk meningkatkan pertahanan dan posisi tawar dalam aspek geopolitik di masa depan dalam kancah internasional, untuk alasan inilah banyak terjadi peperangan dan krisis akibat minyak. Aspek vital dari minyak, membuat krisis minyak layak menjadi prioritas dalam pemerintahan, salah satu contohnya adalah kenaikan harga BBM di Indonesia yang sempat menggoyahkan kestabilan ekonomi dan menuai kontroversi akibat kebijakan bantuan langsung tunai yang tidak tepat sasaran.
            Menurut studi komite geopolitik minyak ada enam kesimpulan penting,[1] yaitu:
  1. Ekspor minyak dari Teluk Persia dan Afrika Utara tidak akan mengalami kenaikan secara substansial selama sepuluh tahun ke depan karena jumlah minyak yang merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui semakin berkurang, sehingga pengurangan produksi ini memicu kelangkaan yang berdampak pada kenaikan harga.
  2. Konflik Iran-Irak berpengaruh pada suplai minyak dunia
  3. Minyak mulai menjadi instrumen politik, tidak lagi sebatas komoditas ekonomi yang strategis-terutama dibidang industri
  4. Ada perubahan arus kebijakan selama dua dekade ke depan, yaitu persaingan pemerintah dan konsumsi bangsa karena penyuplaian yang semakin berkurang
  5. Peningkatan kepentingan Uni Soviet di Timur tengah dan peningkatan kontrol atas suplai energi di Eropa barat merupakan hal yang membahayakan aliansi barat
  6. Kemunduran ekonomi di negara berkembang dan peningkatan hutang luar negeri membahayakan ekonomi negara maju dan mengancam system financial internasional
Hasil pengamatan di atas menunjukkan signifikansi dari minyak, yang bila diperebutkan akan menjadi faktor pemicu perang di berbagai negara, seperti kedok Amerika Serikat yang menyuarakan demokrasi di Irak untuk menggulingkan rezim Saddam Hussein tapi ternyata setelah Saddam wafat malah memasukkan perusahaan minyaknya di sana. Bahkan minyak dapat digunakan sebagai “soft gun” dalam berperang (perebutan minyak) karena sekarang peperangan terbuka apalagi karena “high politic” jarang terjadi, sudah mulai bergeser ke ranah ekonomi yang dulunya notabene dengan “low politic.” Bisa dimaklumi memang setiap negara memiliki kepentingan, baik berupa minyak, ataupun lainnya, tapi untuk mendapatkannya tidak selalu dengan cara kekerasan, masih ada jalur kerjasama yang melibatkan aspek negosiasi dan diplomasi di dalamnya, atau bisa juga dengan bergabung dalam organisasi OPEC bagi negara pengekspor agar stabilitas harga dan penyuplaian lebih terkontrol dan terarah serta mencegah terjadinya monopoli pasar. Namun minyak tidaklah selalu menyebabkan konflik, seperti di Siberia misalnya yang kaya akan minyak. Menurut saya bila berpikir dari sudut pandang lain, akan lebih baik bila menciptakan alternative sumber energi baru, seperti hidro-electric yang bahan bakunya melimpah dan ramah lingkungan, nuklir sebenarnya bisa menjadi sumber energi juga seperti yang berhasil diterapkan oleh Perancis bahkan sampai mengalami surplus energi namun sayangnya tidak ramah lingkungan. Kedua sumber energi ini memang sebuah terobosan mutakhir tapi untuk memulainya membutuhkan biaya yang relatif tinggi dan teknologi canggih, ini bisa disiasati dengan pembuatan secara massal dan besar-besaran dalam sebuah negara untuk mengurangi biaya produksi, atau bisa juga dengan cara kerjasama regional atau global diantara negara-negara maju sebagai penyedia teknologi dan negara berkembang sebagai penyedia bahan baku dan tenaga kerja.
Minyak dapat juga menjadi alat “soft bargaining,” misalnya ada dua negara yang saling bersitegang namun salah satu dari kedua negara adalah produsen minyak dan lainnya adalah konsumen maka konflik yang terjadi akibat faktor lain semisal ideologi akan akan surut dan bisa menjadi peredam konflik akibat faktor kebutuhan akan minyak yang mendesak. Bila di jaman kolonialisme, klaim atau perluasan wilayah dan ideologi mungkin menjadi factor utama dalam berperang tapi untuk saat ini minyak masih menempati urusan teratas pemicu konflik, ditambah lagi keadaan dunia yang sudah “rumit” akibat resesi ekonomi AS yang berdampak ke banyak negara, walaupun ada  juga peperangan untuk memamerkan kekuasaan seperti AS ke Afganistan, atas dasar SARA dan batas wilayah seperti Israel ke Palestina, dan budaya seperti klaim lagu dan tari Indonesia oleh Malaysia.
Terlepas dari minyak sebagai penyebab perang atau tidak, tapi perang dan konflik sendiri merupakan fenomena yang hadir dalam realitas di berbagai bangsa dan negara di belahan bumi manapun, untuk meraih kemenangan dalam perang tentu perlu pertimbangan dari aspek geopolitik dan geostrategi dari tiap negara yang terlibat konflik, selain persiapan teknis di bidang militer dan ekonomi selama konflik berlangsung (The geopolitic of war:1943). Apalagi untuk negara penghasil minyak, semestinya menyiapkan diri untuk meningkatkan pertahanan barangkali ada negara lain yang ingin menguasai sumber minyak di negaranya bukan malah puas dengan kemakmuran yang merupakan hasil dari penjualan minyak, seperti negara Arab Saudi, yang menurut saya terlalu menggantungkan diri pada sokongan Amerika Serikat padahal sebenarnya justru malah dimanfaatkan oleh MNC dari AS. Menurut ahli Geostrategi dari Jerman, dalam perang modern ada empat fase dan tiga dimensi yaitu variasi dari ideologi (PD I , PD II, dan Perang Dingin), psikologi (Perang dingin), Ekonomi dan militer, dengan dimensi perlawanan dari darat, laut, dan udara. Keunggulan serangan bergantung dari bentuk negara sasaran, apakah berupa daratan atau kepulauan dan tingkat armada militer yang canggih dan penguasaan titik penting yang harus diduduki dari sebuah negara, bila menggunakan serangan dari udara maka membutuhkan  ketepatan sasaran yang lebih teliti karena meskipun jarak jauh tapi efek pengrusakannya lebih besar, seperti pengeboman Hiroshima dan Nagasaki, serangan WTC dan Serangan Israel ke Gaza beberapa waktu lalu.
Semakin maju zaman, semakin beragam piranti dalam berperang, salah satunya adalah alat penyadap, alat penyamaran, dan yang terbaru adalah perang informasi, bisa dengan pemberian data-data palsu, pengrusakan program komputer dan lain-lain, tapi apapun bentuk dan alasan dari konflik pasti kedua belah pihak akan menjadi korban, baik dari segi nyawa, harta, ataupun tenaga. Tapi yakinlah perang itu bisa diakhiri atau kalau perlu dihindari agar tatanan dunia damai seperti yang dicita-citakan liberalis dapat terwujud tanpa mengabaikan peraihan kepentingan tentunya.
REFERENSI
Bush, George, ‘The Liberation of Kuwait Has Begun’, in Sifry, Micah L. and Christopher Cerf (eds.), the Gulf War Reader: History, Documents, Opinions (New York: Random House, 1991), pp. 311-314.
Friedman, Thomas L., ‘Washington’s “Vital Interests”’, in Sifry, Micah L. and Christopher Cerf (eds.), The Gulf War Reader: History, Documents, Opinions (New York: Random House, 1991), pp. 203-206
Gyorgy,a.,1943. ‘The geopolitics of war: total war and geostrategy.’ The journal of politics, vol 5, no 4 (nov.,1943), pp. 347-362


[1]  Thomas L.Friedman, ‘Washington’s “Vital Interests”’, in Sifry, Micah L. and Christopher Cerf (eds.), The Gulf War Reader: History, Documents, Opinions (New York: Random House, 1991), pp. 203-206

Tidak ada komentar:

Posting Komentar